Total Tayangan Halaman

Jumat, 29 April 2011

~~Sopir Angkot Wanita Pun Harus Profesional .....


Senin, 31 Januari 2011
"Citeureup, Cibinong, ayo-ayo!" teriak sopir angkutan kota yang sedang mencari penumpang dari kursi kemudi, sambil merapikan lembaran uang recehannya.

"Ayo naik, ini angkot khusus wanita!" ujar saya menimpali, berpromosi kepada segerombolan perempuan berkerudung di depan masjid samping Taman Topi di kota Bogor.

Gayung pun bersambut, tiga gadis muda menaiki angkutan kota (angkot) jalur 08 yang dikemudikan seorang ibu bertubuh cukup subur itu. Ya, pengemudi angkot berwarna hijau cerah jurusan Pasar Anyar - Citeureup itu memang seorang perempuan.

Begitu duduk, salah seorang di antara ketiga gadis muda itu minta putarkan musik. Permintaan langsung dipenuhi. Lagu berirama pop terdengar dari pengeras suara di belakang mobil yang dihiasi boneka. Meskipun sederhana, tape mobil pemutar lagu kelihatan cukup canggih, karena kumpulan lagunya tersimpan di dalam sebuah flashdisk, bukan kaset dengan pita magnetik.

Perjalanan pada Ahad sore (30/1) yang cukup melelahkan itu pun berubah menjadi agak menggelikan. Sebab rupanya, si penumpang masih mengenali wanita pengemudi angkot itu. Perusahaan tempatnya bekerja pernah menyewa angkot tersebut untuk transportasi karyawan. Maka suasana reuni pun tercipta. Saya yang duduk di muka, di samping ibu sopir, tak kuasa menahan geli.

"Ibu Edies", begitu yang saya dengar saat ibu sopir menyebutkan namanya di sela-sela suara lalu-lalang kendaraan, musik dan percakapan penumpang dalam angkot. Mobilnya masih menunggu beberapa penumpang lagi.
Ibu dua anak yang berprofesi sebagai pengemudi angkot itu cukup unik. Kulitnya putih bersih, meskipun bertubuh gemuk seperti ibu-ibu pada umumnya, namun masih terlihat cantik. Sikapnya ceria, senang tertawa, suaranya agak berat. Kuku jemari tangannya diwarnai dengan henna, pewarna alami. Entah karena kurang telaten atau terburu-buru, sama seperti henna di tangannya, lipstik merah muda wanita berwajah oval itu kurang rapi polesannya.

Wanita yang murah senyum itu tanpa sungkan menceritakan permasalahan pribadinya Entah karena merasa nyaman atau karena  kami sama-sama perempuan.
Cukup lama dia menceritakan masalah rumah tangganya.  Ia mengaku, sejak tahun 2005 dia berprofesi sebagai sopir angkot. Sebelumnya, dia pernah bekerja sebagai staf pemasaran sebuah perusahaan di kawasan Gatot Subroto, Jakarta. Malangnya, setelah keluar dari pekerjaan yang cukup mapan, suami yang diharap dapat memberikan nafkah bagi dirinya sebagai seorang istri dan perempuan justru tidak mencukupinya. Katanya, untuk kebutuhan sebagai perempuan yang setiap bulan mendapatkan haidh saja, dia harus merogoh koceknya sendiri. Padahal dia rela berhenti bekerja semata-mata memenuhi permintaan sang suami.

Tidak ingin berkeluh kesah lebih jauh, wanita yang dulu tinggal di pulau Sulawesi itu pun mencari solusinya sendiri. Pekerjaan sebagai sopir pengganti pun dilakoninya.

"Daripada di rumah saja, saya bisa gila," ujarnya, seraya menyilangkan telunjuk kanan di kening.
Ia mengaku, selama menyopir angkot dia bertemu banyak orang, sehingga bisa sejenak melupakan permasalahan dalam rumah tangga.

Pertama kali menjadi sopir, Edies sempat berpikir untuk memasang kumis palsu guna menyamarkan identitasnya sebagai perempuan. Tapi kemudian menurutnya, untuk apa bersusah payah menyembunyikan diri, lebih baik menjadi diri sendiri apa adanya.

Mungkin prinsip itu yang melatarbelakangi kehadiran sejumlah asesoris di mobilnya, seperti boneka, mainan anak-anak, warna merah muda dan tulisan "bocah" di kaca depan.

Edies mengaku menghadapi banyak beban  ketika menjadi sopir angkot bagi seorang wanita. Namun perempuan yang mengaku kerap diwawancarai wartawan menjelang Hari Kartini itu bercerita tentang para lelaki yang menggodanya, yang coba menarik perhatian dirinya dengan aneka cara, termasuk berdandan perlente.

"Tapi saya bilang, saya tidak ingin digosipin," ujarnya. "Saya suruh dia naik mobil belakang," katanya, menjelaskan beberapa kiat menghadapi masalah dengan lawan jenis.

Namun sampai kapan Edies terus menjadi sopir angkot?"

Jawabannya di luar dugaan. "Tahun depan saya harus sudah jadi bos," jawabnya optimis.

Wanita penggemar kopi encer itu mengaku ingin membuka usaha butik, karena senang dengan dunia fesyen. Butiknya, khusus menyediakan pakaian wanita bertubuh subur, pakaian berukuran besar.
Memiliki usaha konveksi adalah cita-cita lamanya, dulu sebelum menjadi sopir angkot dia mengaku sudah membeli beberapa mesin jahit.

Alih profesi itu dapat dipahami, karena di tahun mendatang, kedua putranya yang kini masih berusia belasan tahun akan tumbuh dewasa. Sekarang mereka belum merasa malu dengan profesi ibunya sebagai sopir angkot, seperti jawabnya saat ditanya tanggapan anak-anak tentang pekerjaan ibunya. Tapi di kemudian hari, suatu saat pasti mereka akan malu dengan hal itu.

Filosofinya tentang bekerja cukup berbobot. Bekerja itu harus sungguh-sungguh, kata perempuan yang suka mengenakan celana panjang dan baju dari kaos itu.

"Meskipun jadi sopir juga harus profesional," tegasnya.

"Kalau main-main, rezekinya juga main-main," imbuhnya, sambil memutar setir mobilnya dengan lincah namun tidak ugal-ugalan, seperti kebanyakan para sopir pria yang mengejar setoran.

Kisah hidup perempuan pemilik gelar sarjana ekonomi dari Universitas Negeri Jakarta itu mengingatkan saya akan sebuah puisi Taufik Ismail berjudul "Kerendahan Hati". Begini bunyinya;

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
Yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
Yang tumbuh di tepi danau
Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
Memperkuat tanggul pinggiran jalan

Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
Membawa orang ke mata air

Tidaklah semua menjadi kapten
Tentu harus ada awak kapalnya….
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
Rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu….
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri

Edies menyadari, sebagai seorang perempuan --mengemudikan angkutan kota setiap hari, dari sore hingga hampir tengah malam-- mungkin bukan ibu yang ideal bukan pula istri idaman. Namun, wanita yang kisahnya kerap diangkat hanya saat peringatan Hari Kartini tanggal 21 April itu juga menyadari  bukan semata obyek berita. Ia mengajarkan banyak hal tentang kehidupan, termasuk menjadi orang sebaik-baiknya dari diri kita sendiri. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar