Total Tayangan Halaman

Jumat, 29 April 2011

~~Bantuan Itu Datang Setelah Shalat Tahajud.....


 
Jum'at, 29 April 2011
Hidayatullah.com--Sore menjelang maghrib beberapa hari lalu, istriku terlihat resah. Beberapa kali mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu. Raut wajahnya tampak kalut. Karena penasaran, saya pun bertanya kepadanya. “Ada apa toh umi. Dari tadi ko terlihat bingung?”.
“Anu, Abi. Beras di dapur sudah habis. Bingung besok enggak ada yang dimasak,” jawabnya sambil menunjukkan karung beras yang sudah kosong melompong.
Kekhawatiran istriku bisa dimaklumi. Pasalnya, jika besok tidak ada beras yang dimasak, maka tiga belas anak yayasan yang kami asuh terancam bakal tidak makan. Itu berarti, mereka akan berangkat sekolah dengan perut kosong.
“Umi tenang saja, ya. Meski beras sudah tidak ada, tapi kita masih punya satu malam untuk shalat tahajud dan meminta kepada Allah,” kataku menenangkan dengan penuh kenyakinan.
“Iya abi, umi yakin. Semoga saja Allah yang Maha Pemberi rezeki berkenan membantu kita,” harapnya meski kekalutan masih tergambar di wajahnya.
Malam harinya, pukul 2.30 dini hari saya dan istri bangun. Sekitar sepuluh menit berwudhu dan memakai pakaian shalat. Setelah itu membangunkan anak-anak yang sedang tidur pulas. Cukup sulit juga membuat mata mereka melek. Meski sudah dipukul pelan dengan sajadah dan kata-kata “Shalatul lail” berulang kali, tetap saja mereka tidak bangun-bangun.
Parahnya lagi, bila ada yang sudah bangun,  tak jarang yang tidur lagi. Cukup lama memang agar mau membuka mata mereka melek dan langsung mengambil air wudhu. Mungkin karena masih kecil-kecil jadi sulit dibangunkan. Tapi, setelah sekitar 15 menit dan beberapa kali dibangunkan, akhirnya mereka pun semua bangun.    
Sembari menunggu mereka siap-siap, saya dan istri shalat lebih dulu. Biasanya, mereka akan menyusul shalat. Dalam suasana syahdu di sepertiga malam itu saya pun berdoa dan memohon kepada Allah SWT. Kedua tangan kutengadahkan ke langit. Istri dan anak-anak mengamini meski dengan mata merem-melek menahan kantuk.
“Ya Allah, Engkau Maha Kaya. Berilah rezeki yang halal dan berkah untuk kami ya Allah. Kami tidak memiliki apa-apa kecuali dari-Mu. Jika ia ada di langit, turunkanlah, jika di bumi keluarkanlah, jika kotor sucikanlah. Terdengar suara amin para santri.  Air mataku meleleh.
Subhanallah. Pagi sekitar pukul 10.00 tiba-tiba datang seseorang perempuan membawa empat karung beras. Entah tahu dari mana, tapi kata perempuan itu ia sengaja mencari yayasan di daerah itu, Sidoarjo, Jawa Timur. Yayasan kecil kami terletak jauh di dalam gang. Tak banyak orang tahu. Selain itu, di sekitar juga banyak yayasan lain jauh lebih besar dan terkenal.
Saya yakin, ia dikirim oleh Allah. Dan saya yakin, itu jawaban atas doa anak-anak yayasan semalam.
“Subhanallah, ternyata betul ya Abi. Allah pagi ini buktikan janji-Nya,” kata istri setelah mengantar dermawan itu pulang.
Sejak itu, saya dan istri makin yakin kekuatan shalat malam. Shalat malam bisa menjadi senjata untuk mengundang pertolongan Allah setiap saat dan dalam kondisi apapun.
Sejak saat itu pula, saya, istri dan seluruh penghuni yayasan melakukan shalat tahahud tiap malam. Dan ternyata, hingga kini Allah selalu mencukupi kebutuhan kami. Kami tidak pernah kelaparan. Pertolongan seperti itu juga sering kami alami.
Pernah suatu saat, tiba-tiba seseorang datang jauh-jauh dari Malang. Kata lelaki yang memiliki salon itu, ia bermimpi disuruh untuk memberikan sedekah ke sebuah yayasan di daerah tersebut.
Ciri-ciri yayasan itu, katanya kecil dan ustadz pemangkunya berbadan kurus. Maka, dicarilah yayasan yang dimaksud dalam mimpinya itu. Tapi, sudah dicari-cari tak jua ketemu. Ketika menemui yayasan kami, yakinlah orang tersebut jika yayasan itu yang ada dalam mimpinya.
“Iya, ini pesantrennya yang ada dalam mimpi saya,” katanya. Meski berkali-kali saya pertanyakan jangan-jangan bukan yayasan ini yang dimaksud, tapi ia tetap bergeming. Ia pun memberi uang Rp 2 juta rupiah.
Tidak hanya itu. Pernah juga ada kejadian serupa. Ceritanya, ada seseorang nyasar yang ingin memberi bantuan. Ia sebenarnya ingin memberi sedekah ke yayasan lain. Tapi, entah kenapa, ia justru datang ke yayasan kami. Saya pun menjelaskan jika yayasan ini bukan yang ia maksud dan memintanya agar menyalurkan sedekahnya ke yayasan semula.
Tapi, meski sudah berkali-kali dibujuk, ia tetap saja bersikukuh. “Sudah, sedekah ini saya berikan untuk yayasan ini saja,” paparnya. Karena tak bisa menolak,  sedekahnya pun kami terima. Dalam hati saya berucap dengan  sedikit bergurau: “Ternyata, malaikat pinter juga ya mengalihkan orang berbuat baik.”
Saya sendiri sudah beberapa tahun menjadi pengasuh di yayasan Islam di Sidoarjo milik salah satu ormas Islam. Yayasan itu belum terlalu besar. Gedungnya saja masih milik orang lain, hanya disuruh menempati saja. Ada tiga belas anak yang masih sekolah, dari bangku SD hingga SMA. Mereka dari berbagai daerah, ada dari Sidoarjo sendiri, Balikpapan, Madura, Semarang, Surabaya, dan deerah lainnya.
Seperti yayasan pada umumnya, pembiayaan gratis dan berasal dari umat Islam. Tapi, kendati demikian, saya tak pernah khawatir Allah telantarkan kami. Karena itu, agar Allah tak pernah sepi menolong, maka tiap malam kami harus sering meminta dan menagih janji-Nya. Seperti diceritakan Maryadi kepada Hidayatullah.com

~~Hidupnya Menderita Setelah Berurusan dengan Kredit Bank....



 
Sabtu, 23 April 2011
BU DWI, itulah janda lima anak itu biasa dipanggail. Wanita yang tinggal di daerah Wonorejo Tegalsari Surabaya ini, dulunya adalah keluarga yang bisa yang tergolong cukup secara ekonomi.
Namun kehidupannya drastis berubah ketika datangnya cobaan. Kala itu, suami yang dicintainya --yang berprofesi karyawan swasta—dipanggil Sang Khaliq karena penyakit paru-paru yang dideritanya.Ia meninggalkan dunia dan keluarga di saat anak pertamanya baru memasuki jenjang SMU.
Usai kepergian sang suami, praktis menjadikan Dwi dia sebagai single parent (orantua tunggal) yang mengasuh kelima anaknya.
Tiap pagi, ia bertugas memasakkan nasi, lauk untuk tukang-tukang yang bekerja di proyek-proyek. Kebetulan, di sekitar rumahnya banyak tukang dan kuli yang nge-kos di situ.
Di saat yang sama, anak pertamanya yang perempuan ikut membantu menjaga toko kelontong di halaman rumahnya. Sementara anak-anaknya yang lain masih duduk di SMP, SD hingga ada yang masih berumur lima tahun.
Karena kebutuhan yang semakin meningkat, dia mencoba meminjam uang kepada saudara-saudaranya. Namun karena malu jika terus-terusan meminjam kepada saudara, dia pun menghentikan meminjam kepada saudaranya dan terpaksa meminjam uang dari salah satu bank pengkreditan.
Keterlibatannya dalam bank pengkreditan ini terjadi setelah perkenalannya dengan seorang wanita yang menawarinya kredit. Dia pun mengiyakan tawarannya. Pertama-tama dia hanya meminjam uang lima ratus ribu. Dia pun bisa membayarnya. Dia kembali meminjam uang di bank dengan pinjaman yang lebih besar seiring kebutuhannya yang semakin besar pula. Namun, lama-kelamaan pinjamannya menggelembung dengan adanya bunga yang ditetapkan oleh bank tersebut.
Maklum, bank tersebut menggunakan sistem riba di dalamnya.
Dia pun memutuskan untuk meminjam uang ke bank lainnya untuk menutupi pinjaman dari bank pertama. Memang tujuan untuk menutupi pinjaman pokok tertutupi. Namun bunga yang masih terdapat di bank itu tetap saja ada. Akhirnya dia pun meminjam uang ke bank lainnya. Begitu seterusnya.
Kegiatan tambal-sulam ini menjadikan Bu Dwi pun terbelit pinjaman dari bank-bank. Bukan hanya dari pinjaman pokoknya, tetapi juga bunga bank yang semakin lama semakin membesar.
Berselang waktu yang tidak lama, datang seorang laki-laki bertubuh kekar yang mengaku debt collector ke rumahnya. Dia bermaksud menagih pinjaman bu Dwi karena pinjamannya sudah jatuh tempo. Pertama-tama dia meminjam tetangganya. Tetapi debt collector yang lain datang lagi. Namun kali ini dia tidak bermaksud untuk meminjam ke tetangganya. Dia bersembunyi di tempat lain dan bilang ke anaknya bahwa dia sedang di luar kota, ada keperluan dan macam-macam alasan lainnya.
Namun seperti pepatah, “Sepandai-pandai bangkai disembunyikan, akhirnya tercium juga.” Bu Dwi pun kepergok oleh seorang debt collector. Dan dia pun dimarah-marahi karena pinjamannya sudah jatuh tempo.
Singkat cerita, semenjak terlibat dengan urusan bank ini, hidupnya tak pernah tenang. Tiap hari, perasaannya dihantui kecemasan dan rasa ketakutan.
Pernah juga dia diancam oleh debt collector bila tak segera melunasi tagihannya. Begitu juga seterusnya seperti itu.
Ketakutannya ini akhirnya membuatnya berisikap gelap dan tak berpikir panjangan. Dia mulai menjual barang-barang kepunyaannya, mulai gelang, kalung, motor hingga TV yang biasa jadi tontonan satu keluarga. Hingga pada akhirnya, barang-barang yang sekiranya bisa dijual dengan harga mahal pun sudah tidak ada lagi alias ludes.
Ibarat harta tinggal tikar, keadaan masih tak berubah. Kondisinya masih saja seperti dulu, tertekan dan stress. Rupanya, anak-anaknya --terutama yang sudah SMP dan SMA-- sudah bisa merasakan apa yang dialami ibunya.
Dalam keadaan seperti ini, Bu Dwi tak ingin membuat suasana rumah dan kondisi menjadi ikut mengguncang jiwa anak-anaknya. Semenjak itu, ia mulai mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dia mulai terlihat aktif sholat berjamaah di masjid dan mulai aktif ikut pengajian setiap malam Jum’at di RT.
Dalam kesempatan berada di masjid tersebut, dia mengadukan segala persoalannya kepada Allah SWT. Dan di kesempatan pengajian tersebut, dia mencurahkan permasalahannya kepada tetangganya yang dipercayainya.
Perubahan perilaku Bu Dwi yang menjadi semakin alim itu semula membuat heran para tetangganya. Karena pada sebelumnya dia memang dikenal jarang sholat, apalagi ke masjid atau ikut pengajian. Namun, hal itu tak diperhatikannya. Dia tetap melakukan amal kecil-kecil secara istiqomah.
Dalam kepasrahan doanya selama ini, tiba-tiba datang seorang wanita istri seorang sang pemilik toko bangunan yang juga donatur utama pengajian setiap malam Jum’at di RT. Singkat cerita, sang ibu, rupanya ibu dengan penderitaan bu Dwi setelah mendengarkan curahan hatinya.
Akhirnya, istri pemilik tokok ini berusaha membantu sesuai kemampuannya. Dia menawari mengambil anak pertamanya sebagai pegawai di tempatnya setelah pulang sekolah. Selain itu, ia menjadikan anak keempat bu Dwi yang masih SD sebagai anak asuhnya.
Bu Dwi percaya, inilah pertolongan dari Allah melalui tangan kedermawanan suami-istri yang memiliki toko bangunan ini. Singkat cerita, hati bu Dwi bahagia tak kepalang. Untuk menunjukkan rasa syukurnya kepasa Allah, ia akhirnya terus memperbanyak beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.
Kini, semua anak-anaknya telah dewasa dan bekerja. Sedikit banyak, mereka telah ikut membantu ekonomi keluarga.
Apa yang dilakukan Bu Dwi ini sebenarnya telah dijanjikan oleh Allah Ta'ala.Di antaranya,Allah telah berfirman tidak akan mengabulkan do'a bagi siapa saja yang makanannya diperoleh dengan cara haram, seperti riba (bunga bank), menipu, memakan harta orang lain dengan cara batil.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu , ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda:
"Wahai Manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik, Dia tidak menerima ke-cuali yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang mukmin dengan apa-apa yang diperintahkan oleh para rasul. Maka Dia berfirman, 'Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.' (Al-Mukminun: 51) dan Dia berfirman, 'Hai orang-orang yang beriman, makan-lah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (Al-Baqarah: 172).
Dan benar saja, semenjak itu, Bu Dwi tak ingin terlibat lagi dengan urusan pinjam-meminjam di bank, apalagi urusan bunga. Dan sejak terlepas dari Bank dan urusan riba ini, hidupnya lebih menggairahkan. Semoga kisah Bu Dwi ini, dapat jadi pelajaran bagi yang lain.*/diceritakan oleh Rian
Ilustrasi: seorang debt collector/prima

~~Sopir Angkot Wanita Pun Harus Profesional .....


Senin, 31 Januari 2011
"Citeureup, Cibinong, ayo-ayo!" teriak sopir angkutan kota yang sedang mencari penumpang dari kursi kemudi, sambil merapikan lembaran uang recehannya.

"Ayo naik, ini angkot khusus wanita!" ujar saya menimpali, berpromosi kepada segerombolan perempuan berkerudung di depan masjid samping Taman Topi di kota Bogor.

Gayung pun bersambut, tiga gadis muda menaiki angkutan kota (angkot) jalur 08 yang dikemudikan seorang ibu bertubuh cukup subur itu. Ya, pengemudi angkot berwarna hijau cerah jurusan Pasar Anyar - Citeureup itu memang seorang perempuan.

Begitu duduk, salah seorang di antara ketiga gadis muda itu minta putarkan musik. Permintaan langsung dipenuhi. Lagu berirama pop terdengar dari pengeras suara di belakang mobil yang dihiasi boneka. Meskipun sederhana, tape mobil pemutar lagu kelihatan cukup canggih, karena kumpulan lagunya tersimpan di dalam sebuah flashdisk, bukan kaset dengan pita magnetik.

Perjalanan pada Ahad sore (30/1) yang cukup melelahkan itu pun berubah menjadi agak menggelikan. Sebab rupanya, si penumpang masih mengenali wanita pengemudi angkot itu. Perusahaan tempatnya bekerja pernah menyewa angkot tersebut untuk transportasi karyawan. Maka suasana reuni pun tercipta. Saya yang duduk di muka, di samping ibu sopir, tak kuasa menahan geli.

"Ibu Edies", begitu yang saya dengar saat ibu sopir menyebutkan namanya di sela-sela suara lalu-lalang kendaraan, musik dan percakapan penumpang dalam angkot. Mobilnya masih menunggu beberapa penumpang lagi.
Ibu dua anak yang berprofesi sebagai pengemudi angkot itu cukup unik. Kulitnya putih bersih, meskipun bertubuh gemuk seperti ibu-ibu pada umumnya, namun masih terlihat cantik. Sikapnya ceria, senang tertawa, suaranya agak berat. Kuku jemari tangannya diwarnai dengan henna, pewarna alami. Entah karena kurang telaten atau terburu-buru, sama seperti henna di tangannya, lipstik merah muda wanita berwajah oval itu kurang rapi polesannya.

Wanita yang murah senyum itu tanpa sungkan menceritakan permasalahan pribadinya Entah karena merasa nyaman atau karena  kami sama-sama perempuan.
Cukup lama dia menceritakan masalah rumah tangganya.  Ia mengaku, sejak tahun 2005 dia berprofesi sebagai sopir angkot. Sebelumnya, dia pernah bekerja sebagai staf pemasaran sebuah perusahaan di kawasan Gatot Subroto, Jakarta. Malangnya, setelah keluar dari pekerjaan yang cukup mapan, suami yang diharap dapat memberikan nafkah bagi dirinya sebagai seorang istri dan perempuan justru tidak mencukupinya. Katanya, untuk kebutuhan sebagai perempuan yang setiap bulan mendapatkan haidh saja, dia harus merogoh koceknya sendiri. Padahal dia rela berhenti bekerja semata-mata memenuhi permintaan sang suami.

Tidak ingin berkeluh kesah lebih jauh, wanita yang dulu tinggal di pulau Sulawesi itu pun mencari solusinya sendiri. Pekerjaan sebagai sopir pengganti pun dilakoninya.

"Daripada di rumah saja, saya bisa gila," ujarnya, seraya menyilangkan telunjuk kanan di kening.
Ia mengaku, selama menyopir angkot dia bertemu banyak orang, sehingga bisa sejenak melupakan permasalahan dalam rumah tangga.

Pertama kali menjadi sopir, Edies sempat berpikir untuk memasang kumis palsu guna menyamarkan identitasnya sebagai perempuan. Tapi kemudian menurutnya, untuk apa bersusah payah menyembunyikan diri, lebih baik menjadi diri sendiri apa adanya.

Mungkin prinsip itu yang melatarbelakangi kehadiran sejumlah asesoris di mobilnya, seperti boneka, mainan anak-anak, warna merah muda dan tulisan "bocah" di kaca depan.

Edies mengaku menghadapi banyak beban  ketika menjadi sopir angkot bagi seorang wanita. Namun perempuan yang mengaku kerap diwawancarai wartawan menjelang Hari Kartini itu bercerita tentang para lelaki yang menggodanya, yang coba menarik perhatian dirinya dengan aneka cara, termasuk berdandan perlente.

"Tapi saya bilang, saya tidak ingin digosipin," ujarnya. "Saya suruh dia naik mobil belakang," katanya, menjelaskan beberapa kiat menghadapi masalah dengan lawan jenis.

Namun sampai kapan Edies terus menjadi sopir angkot?"

Jawabannya di luar dugaan. "Tahun depan saya harus sudah jadi bos," jawabnya optimis.

Wanita penggemar kopi encer itu mengaku ingin membuka usaha butik, karena senang dengan dunia fesyen. Butiknya, khusus menyediakan pakaian wanita bertubuh subur, pakaian berukuran besar.
Memiliki usaha konveksi adalah cita-cita lamanya, dulu sebelum menjadi sopir angkot dia mengaku sudah membeli beberapa mesin jahit.

Alih profesi itu dapat dipahami, karena di tahun mendatang, kedua putranya yang kini masih berusia belasan tahun akan tumbuh dewasa. Sekarang mereka belum merasa malu dengan profesi ibunya sebagai sopir angkot, seperti jawabnya saat ditanya tanggapan anak-anak tentang pekerjaan ibunya. Tapi di kemudian hari, suatu saat pasti mereka akan malu dengan hal itu.

Filosofinya tentang bekerja cukup berbobot. Bekerja itu harus sungguh-sungguh, kata perempuan yang suka mengenakan celana panjang dan baju dari kaos itu.

"Meskipun jadi sopir juga harus profesional," tegasnya.

"Kalau main-main, rezekinya juga main-main," imbuhnya, sambil memutar setir mobilnya dengan lincah namun tidak ugal-ugalan, seperti kebanyakan para sopir pria yang mengejar setoran.

Kisah hidup perempuan pemilik gelar sarjana ekonomi dari Universitas Negeri Jakarta itu mengingatkan saya akan sebuah puisi Taufik Ismail berjudul "Kerendahan Hati". Begini bunyinya;

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
Yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
Yang tumbuh di tepi danau
Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
Memperkuat tanggul pinggiran jalan

Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
Membawa orang ke mata air

Tidaklah semua menjadi kapten
Tentu harus ada awak kapalnya….
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
Rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu….
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri

Edies menyadari, sebagai seorang perempuan --mengemudikan angkutan kota setiap hari, dari sore hingga hampir tengah malam-- mungkin bukan ibu yang ideal bukan pula istri idaman. Namun, wanita yang kisahnya kerap diangkat hanya saat peringatan Hari Kartini tanggal 21 April itu juga menyadari  bukan semata obyek berita. Ia mengajarkan banyak hal tentang kehidupan, termasuk menjadi orang sebaik-baiknya dari diri kita sendiri. *

~~Bersuci adalah Tanda Keimanan Kit.....


 
Senin, 25 April 2011
HARI itu, jalanan padat merayap. Kepadatan terasa ketika banyak bus dari luar kota semuanya menuju tol arah Jakarta. Di tengah-tengan antrian kendaraan yang cukup panjang, tiba-tiba seorang supir bus dengan santainya keluar pintu meninggalkan penumpang dalam kondisi masih penuh.
Ia minggir di tepi jalan dan (maaf) mengeluarkan kemaluannya dan currrr, ia kencing sambil berdiri disaksikan ratusan mata. Dengan entengnya, dia lalu kembali ke bus tanpa membersikan najis.
Kasus seperi sang supir ini nampaknya bukan hal baru. Pemandangan seperti ini sudah sering kita saksikan di Negeri tercinta ini.
Padahal, ajaran Islam yang paling penting adalah bersuci. Bersuci merupakan salah satu ajaran Islam yang tidak boleh diremehkan. Banyak dalil dalam al-Qur’an maupun Sunnah Rasul yang menjelaskan tentang hal ini. Di antaranya adalah firman Allah yang berbunyi;
وَاذْكُرُواْ نِعْمَةَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَمِيثَاقَهُ الَّذِي وَاثَقَكُم بِهِ إِذْ قُلْتُمْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
"....Allah SWT tidak hendak menyusahkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu." [Q.S. Al Maidah: 7]
Ayat ini menjelaskan bahwa bersuci sama sekali tidak bertujuan membebani umat manusia, tetapi semata-mata hendak membersihkannya baik dari najis dan kotoran, maupun dari segala dosa.
Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ariradhiyallaahu ‘anhu, Dia berkata: Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Bersuci adalah separuh dari keimanan, ucapan ‘Alhamdulillah’ akan memenuhi timbangan, ‘subhanalloh walhamdulillah’ akan memenuhi ruangan langit dan bumi, sholat adalah cahaya, dan sedekah itu merupakan bukti, kesabaran itu merupakan sinar, dan al Quran itu merupakan hujjah yang akan membela atau menuntutmu. Setiap jiwa manusia melakukan amal untuk menjual dirinya, maka sebagian mereka ada yang membebaskannya dari siksa Alloh) dan sebagian lain ada yang menjerumuskannya (dalam siksa-Nya).” (HR Muslim)
Ulama berbeda pendapat tentang makna bersuci sebagai separuh iman. Dua pendapat yang paling masyhur adalah: 1.Bersuci diartikan dengan bersuci dari najis maknawi, yaitu dosa-dosa, baik dosa batin maupun dosa lahir. Karena iman ada dua bentuk, yaitu meninggalkan dan melakukan, maka tatkala sudah meninggalkan dosa-dosa berarti sudah memenuhi separuh iman.
2.Bersuci diartikan dengan bersuci dengan air. Bersuci dengan air ada dua macam, yaitu bersuci dari hadats kecil (kencing) dan hadats besar (buang air). Bila bersuci diartikan dengan suci dari hadats kecil dan hadats besar maka yang dimaksud dengan iman adalah sholat. Jadi bersuci itu separuh dari sholat. Sholat dikatakan sebagai iman karena merupakan pokok amalan iman.  Meski berbeda pendapat dalam memaknai hadits tersebut, namun para ulama sepakat bahwa yang dimaksud bersuci di sini meliputi lahir dan batin.
Bersuci secara lahiriah mungkin mudah kita lakukan, namun bersuci secara batin dari kotoran-kotoran mazmumah sebaliknya. Bukanlah perkara yang mudah bagi kita membersihkan hati dari perkara yang kotor, pikiran dari berbagai paham dan ideologi yang berasal dari barat ataupun dari timur.
Macam-macam Bersuci
Berikut dijelaskan tentang macam-macam bersuci yang telah disepakati di kalangan ulama.
Pertama, mensucikan lahir dari hadats, najis dan kotoran pada anggota badan dan pakaian. Hadats terdiri dari dua jenis yaitu hadats kecil dan hadats besar.
Takrif hadats kecil ialah tiap-tiap yang mewajibkan kita berwudu  karena keluarnya sesuatu dari saluran najis,  baik dari depan maupun belakang. Sedangkan hadats besar adalah perkara yang mewajibkan mandi yang disebabkan keluarnya mani, keluar darah haid, kedatangan nifas dan pertemuan antara kemaluan laki-laki dan perempuan, walaupun tidak keluar mani.
Mandi yang dimaksudkan mempunyai syarat dan rukun tertentu, ada niat dan cara-caranya, dan juga dikatakan mandi disini adalah mengalirkan air ke seluruh tubuh seperti firman Allah yang artinya: "Apabila kamu junub, maka hendaklah kamu bersuci." [QS: Al Maidah : 6]
Kedua, mensucikan anggota lahir dari dosa. Yang dimaksud di sini adalah tangan, mulut, mata, telinga, perut, kaki dan kemaluan. Semua anggota lahir hendaklah bersih dari perbuatan dosa. Memang bersuci seperti ini sangat sulit sekali. Mata umpamanya, sulit menghindar dari melihat perkara-perkara yang haram.
Keluar saja dari rumah untuk bekerja dan sebagainya sudah jelas disambut oleh pemandangan yang membuat mata berbuat dosa. Begitu juga dengan mulut, susah terhindar dari  membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti memfitnah, mengadu domba dan dosa-dosa lainnya. Demikian juga dengan anggota badan lain seperti tangan yang terkadang tidak terelakkan dari menyentuh benda-benda yang dilarang. Telinga pun demikian, setiap hari susah menghindari dari mendengar lagu-lagu pop yang menghayalkan dan perkara-perkara yang membuat setiap hari mendengar yang maksiat.
Ketiga, mensucikan diri dari sifat-sifat keji seperti riya’, ujub, hasad, dengki, gila pangkat, gila dunia, bakhil dan lain sebagainya. Bersuci di peringkat ini sangat sulit sekali, sifat-sifat inilah yang dikatakan sifat mazmumah. Kemudian kita juga harus membersihkan pikiran kita dari isme dan ideologi yang bertentangan dengan Islam. Bersuci pada tingkatan ini adalah bersuci yang berkaitan dengan perkara-perkara batin.
Itu sebabnya bersuci pada tingkatan ini lebih berat dibanding yang dua sebelumnya.  Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa mensucikan hati dan akal pikiran dari penyakit-penyakit batin ini. Antara lain, harus memiliki ilmu agama yang cukup. Kemudian, harus ada azam dan cita-cita yang kuat untuk mengikis penyakit-penyakit itu. Inilah yang dikatakan mujahadatun nafsi. Kalau kita tidak ada azam dan cita-cita yang kuat, susah melawan hawa nafsu karena sebagian telah asyik kita amalkan.
Keempat, mensucikan batin dari selain Allah. Artinya mengarahkan pikiran dan hati hanya untuk Allah semata.
Orang yang mampu berbuat demikian berarti sudah memilki maqam atau kedudukan yang paling tinggi di sisi Allah SWT. Inilah darajat para Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul dan juga derajat bagi para Siddiqin atau orang-orang yang benar.
Agar melahirkan hal baik dan indah
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan Islam terbukti sebagai agama yang sangat peduli dengan masalah kebersihan. Begitu pedulinya, sampai sampai masalah adab buang air dan mandi pun dijelaskan dengan gamblang.
Bila dalam masalah adab buang air saja Islam telah membahasnya, maka mustahil perkara lain yang lebih besar dan lebih penting luput dari perhatian Islam.
Dari Salman (al Faarisiy), dia berkata: Telah berkata kepada kami orang-orang musyrikin, "Sesungguhnya Nabi kamu itu telah mengajarkan kepada kamu segala sesuatu sampai sampai buang air besar!" Jawab Salman, "Benar!" (Hadits Shahih riwayat Muslim juz 1 hal. 154)
Ini satu sisi yang menunjukkan kelebihan Islam dibanding ajaran agama yang lain.
Yang  dikehendaki Allah bukan hanya suci lahir, namun juga suci secara batin. Allah berfirman, "Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensucikan hatinya dan berdukacitalah orang yang mengotorkan hatinya." (As Syams: 9-10).
Namun sebelum suci batin, terlebih dulu hendaklah kita  suci dari lahir. Dengan bersuci dari kotoran-kotoran jasmani maka akan lahirlah orang-orang yang bersih.
Kalau kita tidak sensitif dengan kotoran-kotoran lahir, jiwa kita tidak akan halus. Jika kita tidak merasa jijik dengan benda-benda najis, berarti batin kita lebih tidak jijik dengan benda tersebut.
Rasulullah mengatakan, "Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci." (HR. Muslim).
Apa amal kita di hadapan Allah, jika shalat kita tidak diterima? sungguh akan sia-sia dan merugilah kita.
Inilah Islam, yang sangat berhati-hati dalam urusan kesucian. Marilah kita mulai diri dan keluarga kita dengan masalah yang berhubungan dengan kesucian dan menjauhkan diri dari hal yang bersifat najis dan kotor.  Percayalah, kebersihan akan melahirkan sesuatu yang indah dan suci. Sebab mustahil hal yang suci melahirkan sesuatu yang kotor.
Jika hidup kita banyak masalah, anak kita menjadi sosok yang kurang taat dan susah diatur, istri suka membantah bahkan rezeki yang kita terima cepat habis dan  tidak barakah, maka, tak ada salahnya bertanya pada diri sendiri. Apa yang salah? adalah hal haram masuk ke tenggorokan kita? atau jangan-jangan semua itu bermula karena barang-barang najis atau hal-hal yang diharamkan Allah? wallahu a'lam.*/Sahid
Rep: Administrator

~~Sertifikasi Guru~~

Persyaratan Peserta Sertifikasi Guru dalam Jabatan Tahun 2010

1.      Persyaratan Umum
a.     Guru yang masih aktif mengajar di sekolah di bawah binaan Kementerian Pendidikan Nasional yaitu guru yang mengajar di sekolah umum, kecuali guru Agama. Sertifikasi guru bagi guru Agama (termasuk guru Agama yang memiliki NIP 13) dan semua guru yang mengajar di Madrasah (termasuk guru bidang studi umum yang memiliki NIP 13) diselenggarakan oleh Kementerian Agama dengan kuota dan aturan penetapan peserta dari Kementerian Agama. Sesuai Surat Edaran Bersama Direktur Jenderal PMPTK dan Sekretaris Jenderal Departemen Agama Nomor SJ/Dj.I/Kp.02/1569/2007, Nomor 4823/F/SE/2007 Tahun 2007.
b.     Guru yang diangkat dalam jabatan pengawas dengan ketentuan:
1) bagi yang bukandari guru harus diangkat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (1 Desember 2008), atau
2) bagi yang diangkatsetelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru tetapi memiliki pengalaman formal sebagai guru.
Contoh 1:
Seorang pengawas A yang tidak pernah menjadi guru dialihtugaskan dari pejabat struktural menjadi pengawas pada bulan September 2008. Pengawas A dapat mengikuti sertifikasi guru karena diangkat sebagai pengawas sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru ditetapkan.
Contoh 2:
Seorang pengawas B dialihtugaskandari pejabat struktural menjadi pengawas pada bulan Mei 2009. Pengawas B memiliki pengalaman mengajar selama 15 tahun sebagai guru Olahraga. Pengawas B dapat mengikuti sertifikasi guru meskipun diangkat sebagai pengawas setelah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru ditetapkan karena pengawas B tersebut pernah menjadi guru.
Contoh 3:
Seorang pengawas C yang tidakpernah menjadi guru dialihtugaskan dari pejabat struktural menjadi pengawas pada bulan Mei 2009. Pengawas C tidak dapat mengikuti sertifikasi guru karena diangkat sebagai pengawas bukan dari guru setelah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru ditetapkan.
c.    Guru bukan PNS harus memiliki SK sebagai guru tetap dari penyelenggara pendidikan, sedangkan guru bukan PNS pada sekolah negeri harus memiliki SK dari dinas pendidikan provinsi/ kabupaten/kota.
d.     Pada tanggal 1 Januari 2011 belum memasuki usia 60 tahun.
e.     Memiliki nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK).
2.     Persyaratan Khusus untuk Uji Kompetensi melalui Penilaian Portofolio
a.     Memiliki kualifikasi akademik sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV) dari program studi yang memiliki izin penyelenggaraan
b.     Memiliki masa kerja sebagai guru (PNS atau bukan PNS) minimal 5 tahun pada suatu satuan pendidikan dan pada saat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen terbit yang bersangkutan sudah menjadi guru. (Contoh perhitungan masa kerja lihat urutan prioritas penetapan peserta pada Buku 1 Pedoman Penetapan Peserta, BAB III)
c.      Guru dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan yang belum memiliki kualifikasi akademik S-1/D-IV apabila sudah:
1)     Pada 1 Januari 2010 mencapai usia 50 tahun dan mempunyai pengalaman kerja 20 tahun sebagai guru, atau
2)     mempunyai golongan IV/a atau memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/a.
3.      Persyaratan Khusus untuk Guru yang diberi Sertifikat secara Langsung
a.    Guru dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan yang memiliki kualifikasi akademik magister (S-2) atau doktor (S-3) dari perguruan tinggi terakreditasi dalam bidang kependidikan atau bidang studi yang relevan dengan mata pelajaran atau rumpun mata pelajaran yang diampunya, atau guru kelas dan guru bimbingan dan konseling atau konselor, dengan golongan sekurang-kurangnya IV/b atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/b.
b.   Guru dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan yang memiliki golongan serendah-rendahnya IV/c atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/c.

Minggu, 17 April 2011

Kiriman Amplop Itu Datang Bertubi-tubi

Sabtu, 16 April 2011
Di TENGAH teriknya matahari siang, seorang laki-laki terus saja melangkahkan kakinya, setapak demi setapak, menelusuri jalan perkampungan. Di atas pundak kanannya, bergelayutan barang-barang jualannya, yang berupa mainan anak-anak, yang terdiri dari berbagai jenis, mulai dari mobil-mobilan hingga pistol-pistolan. Dari boneka, hingga jepit rambut.

Dia lalui gang demi gang, tanpa mempedulikan pengatnya sinar sang surya, yang memang bertepatan saat itu, seolah-olah tengah menunjukkan kemahadahsyiatan sinarnya. Setetes demi setetes, keringat bercucuran dari sekujur tubuhnya. Sesekali, ia mengusap dahi dan wajahnya yang berlumuran peluh, dengan handuk kecil yang tidak lepas dari pundaknya.

”Sayang anak........sayang anak..... yang sayang anak....ini ada berbagai macam mainan.” teriaknya menjajakan mainan, barang kali ada yang minat untuk membeli untuk si-buah hati.

Merasa letih, kemudian dia memilih untuk singgah di sebuah masjid, sekedar untuk mengendurkan urat-urat yang memang –mungkin- terasa tegang, karena jauhnya jarak yang telah ditempuh.

Dia letakkan barang dagangannya di halaman masjid, sedangkan dia sendiri beranjak ke beranda bagian belakang. Sambil mengamati dagangannya, ia sandarkan punggungnya di salah satu tiang, kemudian membujurkan kedua kakinya.

Tangan kirinya, ia jadikan penyanggah badannya. Sedangkan kanan kananya, asyik mengibas-ngibaskan handuk kecilnya, di antara kepala dan dadanya. Nampak jelas dari ekspresinya itu, rasa letih dan haus tengah melilit dirinya.

Tak lama kemudian, dia berujar padaku, yang memang dari tadi mengamati dirinya.

”Mas bisa minta air. Saya tengah haus sekali,” ujarnya lirih.

”Saya cek dulu yah di kamar takmir (pengelola masjid),” timpalku kemudian.

Sayangnya, ketika ditengok rungan yang luasnya tidak lebih dari 2x3 M² itu, tak ada setetespun air. Mau beli, bertepatan aku tidak bawa uang sama sekali. Tak ingin mengecewakannya, aku pun bergegas menuju kantin yang memang tidak jauh dari masjid, untuk mengutang sebotol teh dingin. Karena sudah saling kenal, pihak kantinpun tidak menyoalkan permohonanku.

Ketika disodorkan minuman tersebut, awalnya dia menolak. Dia merasa tidak enak, karena telah merepoti. Namun, karena terus kupaksa untuk meminumnya, dia pun akhirnya luluh, dan meminumnya.

Ketika cairan dingin itu telah melewati tenggorokkannya, tersirat dari rona wajahnya rasa kepuasaan. Senyumnya memerkah indah, bak bunga mawar yang tengah mekar, ”Terima kasih ya, mas. Maaf telah merepotkan”, ujarnya.

Setelah beberapa lama mengobrol, si-penjual mainan itu pun akhirnya berpaminatan, minta undur diri, untuk melanjutkan perjalanannya. Akupun melepaskan kepergiannya dengan senyum dan hati berbunga-bunga, karena sedikit telah mampu membantu orang yang memang dalam kesukaran.


Berlipat Ganda
     
Entahlah, aku tidak sama sekali pria itu. Ia bukan saudara, teman, tetangga. Namun ada satu hal yang sangat mendasariku untuk menolong laki-laki tersebut, sekalipun harus dengan jalur berhutang. Saya teringat firman Allah yang menjelaskan, bahwa barang siapa yang menginfakkan hartanya, maka dia akan menuai balasan sepuluh, hingga tujuh ratus kali lipat.

Keterangan ini pula, lah, yang kuutarakan pada laki-laki yang sebelumnya tidak pernah kukenal itu, ketika bertanya, kenapa saya dengan mudahnya menolong dia, tanpa rasa curiga sedikitpun, padahal sebelumnya kami tidak saling kenal.

Hari-hari perkenalanku dengan pria tak dikenal sudah lewat. Suatu hari, saya berkunung ke kantor seorang teman. Tanpa diduga, dia menyodoriku sebuah amplop, yang katanya sebagai tanpa ucap terima kasih atasannya, karena sudah berulang kali membantu urusannya. Saya bingung, urusan apa yang pernah saya tolong padanya?

Sesampainya di kediaman, kubuka amplop itu, dan di dalamnya terdapat uang sangat banyak dan sangat berarti bagiku. Puji syukur, kupanjatkan ke pada Allah.

Tambah bingung lagi, selang beberapa menit setelah itu, datang salah satu temanku, memberikan satu amplop lain, yang katanya dari sahabatku yang lain. Agar tidak lama-lama diselimuti rasa penasaran prihal isi amplop, langsung saja kumembukanya. Dan, Subhanallah, ternyata di dalamnya juga terdapat uang, yang ini nominalnya lebih kecil.

Jadi, kalau dikalkulasi, jumlah uang tersebut sangat luar biasa bagi orang seperti saya. Dari sini, aku jadi tambah yakin, bahwa memang sedekah tidak akan pernah menjadikan kita miskin. Yang ada, justru ia akan menambah pundi-pundi harta kita. Kalau tidak di dunia, ya di akhirat nanti. Dengan catatan, tentu kita harus ikhlas.

Dalam kasus ini, saya jadi teringat firman Allah dalam surat Ibrohim ayat tujuh, yang berbunyi, ”.....Dan apabila kalian bersyukur atas nikmat-nikmat-Ku, maka akan kutambah nikmat-nikmat-Ku pada kalian. Tapi, kalau kalian mengkufurinya, sesungguhnya, azab-Ku amatlah pedih.” (Ibrohim 7).

Semoga kita termasuk orang-orang yang ringan tangan dalam menginfakkan/mensedekahkan harta-harta kita di jalan Allah. Karena sesungguhnya berinfaq itu tidak membuat kita miskin. Bahkan sebaliknya, ibarat mengumpulkan tabungan, yang kelak akan diganti oleh Allah baik di dunia maupun di akherat. Tentu saja infaq yang disertai keikhlasan tanpa berharap imbalan.

قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ وَمَا أَنفَقْتُم مِّن شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (si- apa yang dikehendaki-Nya)". Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan (infakkan), maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik- baiknya.”(QS. Saba': 39 ).
Semoga secuil kisah ini menjadi pelajaran bagi kita. Amin....amin...yaa rabbal ’aalamin. */Robinsah
Rep: Robinsah
Red: Cholis Akbar

Tiga Cara Mengingat Mati!

Sabtu, 12 Maret 2011
Oleh:  Ali Akbar bin Agil
INGAT mati termasuk salah satu akhlak terpuji dan perilaku luhur lagi mulia. Bagaimana tidak, mengingat kematian bukan sekadar ingat dan tidak lupa, namun lebih dari itu mengingat kematian berarti mempersiapkan bekal sebelum ajal datang.
Diriwayatkan dari Kumail bin Yizad, bahwa ia keluar dengan Ali Abi Thalib radhiyallahu`anhu (ra.). Dalam perjalanan itu Ali menoleh ke kuburan lalu berkata, “Wahai penghuni tempat yang menyeramkan, wahai penghuni tempat penuh bala`, bagaimana kabar kalian saat ini? Maukah kalian kuberitahu kabar dari kami: harta-harta kalian telah dibagi-bagi, anak-anak kalian telah menjadi yatim, dan istri kalian telah dinikahi oleh orang lain. Kini, maukah kalian memberi tahu tentang kabar yang kalian miliki?”
Kemudian Ali menoleh pada Kumail dan berkata, “Wahai Kumail, seandainya mereka diizinkan menjawab mereka akan mengatakan, ‘Sebaik-baik bekal adalah takwa.’
Ali menangis. Lantas, kembali berkata, “Wahai Kumail, kuburan itu adalah kotak amal, dan di kala kematian, kabar dari isi kotak amal itu akan menghampirimu.” (Al Hasan bin Bisyr Al-Aamidiy, Kanzul `Ummaal, Juz III, hal.697, Maktabah Syamilah).
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dun-ya dengan sanad dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallahu `alaihi wa sallam (SAW) bersabda: “Perbanyaklah mengingat kematian, sebab ia mampu membersihkan dosa-dosa, dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi.”
Rasulullah SAW pernah ditanya oleh para sahabat tentang siapa “orang-orang yang beruntung.” Maka Rasul menjawab, “Orang yang paling banyak ingat mati, paling baik dalam persiapan menyambut kematian. Merekalah orang-orang yang beruntung, dimana mereka pergi (meninggal) dengan membawa kemuliaan di dunia dan akhirat.” (HR. Ibnu Majah (4259)

Sehebat apapun seseorang, segesit bagaimanapun ia berlari, tidak ada yang bisa lepas dari jaring kematian. Di manapun, kapanpun, dan dalam keadaan bagaimanapun, kematian itu pasti akan datang menyergap, baik dalam keadaan kita siap atau tidak, baik dalam keadaan baik atau buruk, kematian adalah suatu kepastian.
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta`la (SWT) berfirman,
Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu.” (QS. Al-Jumu`ah [62]: 08)
Cara Mengingat Mati
Ada banyak cara dan kiat untuk membuat kita selalu ingat mati. Beberapa di antaranya:
Pertama, berusaha sekuat tenang untuk mengingat kematian yang menimpa orang lain, entah itu saudara, keluarga, atau siapa saja di antara manusia yang telah mendahului kita. Misalnya, saat kita berjalan kemudian berpapasan dengan rombongan yang memanggul keranda jenazah, di saat itulah kita berusaha mengingat kematian.
Atau saat tetangga kanan-kiri kita ada yang meninggal, kita juga berusaha mengingat kematian dengan mengatakan dalam diri kita, “Hari ini tetanggaku telah meninggal, mungkin esok, lusa, atau beberapa hari lagi aku yang akan dipanggil oleh Allah SWT.”
Hal demikian jika kita lakukan dengan sungguh-sungguh, akan membuat kita terhindar dari pembicaraan yang tidak berguna kala bertakziah kepada keluaraga yang ditinggal mati kerabatnya seperti yang sering kita perhatikan atau bahkan kita sendiri melakukannya.
Padahal Rasul pernah menegur beberapa orang yang berbicara tanpa guna. Beliau mengatakan, “Andaikata kalian banyak mengingat  ‘pemotong kenikmatan’ niscaya kalian tidak banyak berbicara seperti ini, perbanyaklah mengingat ‘pemotong kenikmatan’. (HR. Turmudzi (2648))
Kedua, setelah kita mengingat kematian itu sendiri, cobalah kita membayangkan bagaimana sepi dan sunyinya alam kubur itu, tidak ada yang menemani di hari-hari yang dilalui. Suami atau istri yang paling cinta sekalipun tidak ada yang sanggup menemani jika kita telah wafat, terkubur dalam tumpukan debu dan tanah.
Diceritakan dari Abu Bakar Al-Isma`ili dengan sanandnya dari Usman bin Affan, bahwa apabila mendengar cerita neraka, ia tidak menangis. Bila mendengar cerita kiamat, ia tidak menangis. Namun, apabila mendengar cerita kubur, ia menangis.
“Mengapa demikian, wahai Amirul Mukminin,” tanya seseorang kepada beliau. Usman menjawab, “Apabila aku berada di neraka, aku tinggal bersama orang lain, pada hari kiamat aku bersama orang lain, namun bila aku berada di kubur, aku hanya seorang diri.” (Syeikh Muhammad bin Abu Bakar Al-`Ushfuri, Syarh Al-Mawaa`idz Al-`Ushfuuriyyah, Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, hal. 28)
Kesendirian dan sepi senyapnya alam kubur dapat berubah menjadi kebahagiaan atau kesengsaraan, tergantung amal kita selama hidup di dunia. Kuburan dapat menjadi lumbung kebahagiaan atau menjadi sumber siksa dan sengsara. “Kubur itu bisa merupakan salah satu kebun surga atau salah satu parit neraka,” sabda Nabi SAW. (HR. Turmudzi (2460))
Ketiga, termasuk hal sangat dianjurkan dalam upaya kita mengingat mati adalah berziarah ke kubur. Ziara kubur merupakah perkara yang disunnahkan dan sangat direkomendasikan oleh rasul.
Lewat kegiatan ziarah, kita mengambil pelajaran dan hikmah tentang keadaan alam kubur, dan apa yang terjadi di dalamnya, serta kehidupan yang akan dilewati usai dari alam kubur nantinya.
Dalam sebuah hadits, nabi berpesan, “Aku pernah melarang kalian untuk berziarah kubur, namun sekarang berziaralah sebab ia dapat mengingatkan akan kehidupan akhirat dan menjauhi kemewahan dunia.” (HR. Muslim (977))

Saat ini, musibah terjadi di mana-mana setiap saat. Sementara di sisi lain, banyak manusia tidak sadar bahwa detak jantung, denyut nadi mereka bisa saja berhentik berdetak sewaktu-waktu. Entah karena tabrakan, karena kecelakaan, karena banjir, tsunami atau bahkanya saat mereka sedang bersendau gurau dengan sana-keluarga. Sesungguhnya kematian merupakan langkah yang sudah pasti, kita hanyalah menunggu gilirannya.
Dan ketika nyawa telah dicabut – bahkan ketika kita sedang bergembira sekalipun— apa yang telah kita siapkan untuk menghadap Nya?
Penulis adalah pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang 
Foto: ilustrasi
Sumber :
Rep: Administrator
Red: Cholis Akbar

Gelorakan Islam dalam Diri dan Keluarga Kita

Selasa, 01 Maret 2011
Oleh: Shalih Hasyim
KETIKA para dai, muballigh Islam yang datang dari berbagai suku dan bangsa menyebarkan dinul Islam ke berbagai pelosok dunia, hingga di wilayah Nusantara, mereka yakin secara utuh (al yaqinu kulluhu) bahwa Islam jalan kebenaran (al Haq) dan keselamatan (as Salam).  Seandainya kala itu mereka memandang semua agama benar –layaknya paham kaul liberal-- tentu tidak sampai pergi jauh melintasi pulau dan samudera hanya untuk berkorban waktu dan nyawa. Karena keyakinan akan kebenaran itulah, mereka melakukan ekpansi dakwah.
Namun, tiada ekspansi dakwah spektakuler  melebihi masa kekhalifahan Umar bin Khathab. Dalam masa 10 tahun (seputar 18 negara secara beruntun), dalam waktu kurang dari enam bulan terjadi ekspansi dakwah secara berkelanjutan (istimrar).
Ketika memimpin upacara penugasan dakwah, kala itu, khalifah Islam II ini berpesan: “Fii ayyi ardhin tatho’ anta masulun ‘an islamiha” (Di bumi manapun kakimu menginjak kalian bertanggungjawab untuk mengislamkan dan menjaga kebenaran Islam penduduk setempat). Sejak zaman beliau Islam akhirnya makin menyebar ke seluruh dunia hingga di kepulauan Nusantara.  (Sejarah Ummat Islam V, Prof. Dr. Hamka).
Keyakinan yang mencerahkan
Kaum muslimin pantang menggunakan cara-cara kekerasan, intimidasi, agar orang lain mengikuti Islam. Tetapi Islam datang dengan jalan pencerahan dan penyadaran (iqra bismi rabbik).
“Menang tanpo ngasorake, nglurug tanpa bala,” demikian kata sebuah pepata Jawa. Maksudnya, “menang dengan tidak merendahkan musuh dan mendatangi tidak dengan membawa bala tentara,” itulah Islam. Kesadaran yang  tumbuh pada pribadi obyek dakwah inilah yang paling mahal dan menjadi tujuan pendakwah.
Hanya yang memiliki keyakinan yang tidak terkontaminasi dengan keraguan sedikitpun,  dengan ditambahi gelora dakwah,  mereka berani mengarungi samudera, meninggalkan keluarga dan kampung halaman yang dicintainya. Mereka rela berbagi kebenaran untuk mengabarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.
Spirit dakwah itulah yang menjadi landasan berpikir dan patokan tokoh pergerakan modern, Syeikh Hasan Al Banna. Ia mengabdikan dirinya secara total untuk dakwah, dengan mendirikan jamaah Al Ikhwan al Muslimun, empat tahun pasca runtuhnya khilafah Islam Turki Utsmani (1928).
Begitulah para pendakwah sejati. Tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Kisah heroik perjuang dakwah para pendahulu kita perlu dijadikan ibrah (pelajaran) dan ‘ubur (jembatan menuju kesuksesan). Menafikan peran dan jasa mereka merupakan tindakan suul adab (tidak beradab). Tugas kita adalah melanjutkan perjuangan dakwah mereka, mencontoh akhlaq dakwah mereka, mengawal kebenaran Islam dan memperbaiki sisi-sisi tertentu yang perlu disesuaikan dengan tantangan dakwah kontemporer.
Di Korea Selatan Islam masuk melalui pergaulan dan pengaruh kebiasaan baik yang menjadi kultur tentara muslim Turki. Di sana terdapat tentara-tentara muslim yang bertugas pada masa terjadi Perang Korea.

Pada waktu tertentu orang-orang Korea melihat tentara-tentara Turki itu pergi bersuci dengan membasuh muka, tangan dan kaki, lalu berbaris dengan khusyu’, tertib, dan teratur, lalu penduduk setempat terkesan, seraya berkata, “Siapakah kalian? Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang Islam” Mereka bertanya lagi, “Apakah Islam itu?” Lalu Islam diperkenalkan kepada mereka sesuai dengan pengalaman beragama dan pengetahuan yang dimiliki oleh pasukan Turki itu. Maka masuklah ke dalam pelukan Islam beribu-ribu orang Korea karena adanya keteladanan yang bagus itu.

Dalam sejarah Nusantara, secara damai, Islam berhasil menyebar dan mendominasi wilayah Melayu-Indonesia. Selama ratusan tahun Islam kemudian mempribadi di person bangsa Indonesia. Para dai hanya melanjutkan tugas nubuwwah dan risalah yang disempurnakan oleh Rasulullah SAW untuk menyebarkan rahmatan lil ‘alamin dan kaffatan linnas.
Padahal, semula penduduk Nusantara didominasi oleh Hindu, Budha, animisme dan dinamisme. Namun tiba-tiba, mereka beralih kepada agama Islam sebagai spirit dan jalan kehidupan yang baru. Tentu dakwah ini tidak sehari, melewati proses yang panjang (konstan), bukan secara kebetulan (konstan). Para muballigh tidak begitu saja merebut kekuasaan dari tangan penguasa Hindu/Budha. Kekuasaan adalah pilihan rakyat yang telah memeluk Islam, dan menjadikan Islam sebagai acuan tata kelola kehidupan (minhajul hayah).

Islam memperoleh kemenangan dan tersebar dengan baik berkat adanya keteladanan yang agung. Orang-orang melihat gambaran atau potret Islam yang menyatu dengan perilaku pemeluknya, tergambar dalam jasad dan tindakannya. Demikianlah Islam tersebar pada masa-masa awal perintisannya.

Sayang, dinding yang paling tebal yang membatasi dunia dari Islam hari ini adalah kaum muslimin sendiri. Islam itu sangat indah apabila dibaca dalam kitab-kitab, tetapi ketika orang melihat Islam ini pada diri pemeluknya. Mereka bertanya, “Mengapa para pemeluknya tidak mengamalkannya?”

Islam menyerukan sikap tolong-menolong, mengapa banyak orang yang hidup terhina di Negara-negara Islam? Islam menyerukan kekuatan, tetapi mengapa kondisi kaum muslimin begitu lemah? Islam menyerukan ilmu dan kemajuan, tetapi kita temukan Negara-negara Islam merupakan fenomena keterbelakangan dan kebodohan. Bahkan termasuk kita sendiri yang bodoh akan ilmu dan masalah-masalah Islam. Kita sudah mengenal Islam sejak bayi, namun sampai usia kita menjelang 50 tahun, kita tidak malu dan selalu menyebut orang awam. Kapan kita memiliki rasa bangga akan ilmu agama kita?

Islam menjunjung tinggi persatuan, mengapa dunia Islam belum memiliki alasan untuk bersinergi dan menyatukan potensi masing-masing, sehingga ketika Israel dengan pongah mengangkangi Palestina  kita semua diam saja?

Mayoritas kaum muslimin (yang jumlahnya lebih dari 6,5 milyar) mereka masih lebih suka menonjolkan identitas geografis dari pada ikatan ideologisnya.

Orang Islam yang mengamalkan ajaran Islam yang dipahaminya secara konsisten, Allah akan mengajarinya ilmu baru yang tidak diketahui sebelumnya. Sekalipun yang diamalkan hanya itu-itu saja.

Lihatlah betapa indahnya berislam, alangkah bagusnya adab Islam, alangkah mulianya akhlaq Islam. Mereka menyaksikan ajaran-ajaran Islam  dalam bentuk tingkah laku dan perbuatan nyata.

Demikianlah Islam sebagai agama dakwah (dinul dakwah wal intisyar) tersebar ke seluruh dunia, tidak dengan kata-kata dan makalah-makalah, tetapi tersebar dengan amal, akhlaq dan perilaku keseharian.

Oleh karena itu merupakan tuntutan bagi kita menjadi contoh peragaan bagi Islam, menjadi organ kehidupan dalam tubuh ummat Islam, menjadi mushaf berjalan dengan dua kaki, dan menjadi mushaf yang telah ditafsirkan dalam bentuk perbuatan. Di berbagai medan kehidupan. Di pasar, masjid, parlemen, dunia perbankan, pabrik, sekolah, dan di tempat-tempat wisata dll. Perilaku yang lurus indikator pemahaman yang benar.

Jadi, tidaklah keliru jika ummat Islam meyakini kebenaran agamanya. Bahkan wajib. Keyakinan adalah modal dasar untuk menuju perubahan besar. Tanpa keyakinan dan dikawal dengan akhlak, suatu bangsa, umat, atau peradaban, akan musnah ditelan zaman dan akan menjadi budak bagi peradaban lain.

KH. Ahmad Dahlan  pernah mengungkapkan sebuah syair arab :

وَ نَهْجُو سَبِيْلِي وَاضِحٌ  لِمَن اِهْتَدى وَ لَكِنَّ الا هوَاءَ عَمَّت فأَعْمَتْ

“Jalan agamaku terang benderang bagi orang yang mendapat petunjuk, tetapi hawa nafsu merajalela kemudian membutakan (hati manusia).”

Pertanyaanya, kapan kita –termasuk anak-istri dan keluarga kita-- akan mempraktekkan peradaban Islam yang indah ini? *

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah

Rabu, 06 April 2011

Pertama Kalinya, ICRC Kunjungi Para Tawanan Taliban

Rabu, 16/12/2009 17:20 WIB | email | print
Kelompok Taliban di Afghanistan mengijinkan Komite Palang Merah Internasional (ICRC) mengunjungi para tawanan Taliban. Dalam keterangannya, ICRC menyatakan bahwa tim mereka sudah dua kali mengunjungi tiga anggota aparat keamanan Afghanistan yang menjadi tawanan Taliban di provinsi Baghdis, baratlaut Afghanistan. Kunjungan itu dilakukan akhir bulan November kemarin.
"Untuk pertamakalinya sejak awal konflik, ICRC bisa mengunjungi orang-orang yang ditawan kelompok oposisi bersenjata (Taliban)," kata Reto Stocker, ketua tim ICRC di kota Kabul.
"Kami menyambut terobosan ini dan rencananya akan melakukan kunjungan yang sama ke wilayah lainnya untuk memastikan bahwa mereka yang menjadi tawanan dalam konflik bersenjata diperlakukan secara manusiawi," sambung Stocker.
Ia menyatakan, kunjungan ICRC pada para tawanan Taliban merupakan prestasi bagi upaya dialog yang lebih luas dengan kelompok Taliban terkait masalah-masalah kemanusiaan termasuk masalah tawanan. Kesediaan Taliban memberi kesempatan ICRC untuk menengok para tawanan, kata Stocker, menunujkkan bahwa Taliban menaruh kepercayaan pada ICRC, bahwa ICRC adalah lembaga yang kredibel.
Saat ini, ICRC masih mengupayakan untuk mendapat akses menjenguk Bowe Bergdahl, tentara AS yang ditawan Taliban sejak bulan Juni lalu. Ia adalah tentara pertama AS yang ditawan Taliban sejak invasi AS ke Afghanistan bulan Oktober 2001.
"Kami melakukan kontak dengan berbagai kelompok bersenjata, berbagai tokoh dan kelompok masyarakat lainnya untuk mendapatkan akses menjenguk Bergdahl dan memastikan tawanan itu bisa mengontak keluarganya," kata Carla Haddad Mardini, salah satu jubir ICRC.
Sejak invasi AS ke Negeri Para Mullah itu, ICRC sudah mengunjungi 136 tempat yang menjadi lokasi penjara dan mendata lebih dari 16.000 orang yang menjadi tawanan. ICRC sendiri sudah menempatkan timnya di Afghanistan sejak tahun 1979, ketika Uni Soviet menginvasi negeri itu. (ln/aljz)

~~KOmite palang merah internasional~

~ICRC~~

The International Committee of the Red Cross (ICRC) is a private humanitarian institution based in Geneva, Switzerland. States parties (signatories) to the four Geneva Conventions of 1949 and their Additional Protocols of 1977 and 2005, have given the ICRC a mandate to protect the victims of international and internal armed conflicts. Such victims include war wounded, prisoners, refugees, civilians, and other non-combatants.[3]
The ICRC is part of the International Red Cross and Red Crescent Movement along with the International Federation and 186 National Societies.[4] It is the oldest and most honored organization within the Movement and one of the most widely recognized organizations in the world, having won three Nobel Peace Prizes in 1917, 1944, and 1963.[5]

History

[edit] Solferino, Henry Dunant and the foundation of the ICRC

Up until the middle of the 19th century, there were no organized and well-established army nursing systems for casualties and no safe and protected institutions to accommodate and treat those who were wounded on the battlefield. In June 1859, the Swiss businessman Henry Dunant traveled to Italy to meet French emperor Napoléon III with the intention of discussing difficulties in conducting business in Algeria, at that time occupied by France. When he arrived in the small town of Solferino on the evening of June 24, he witnessed the Battle of Solferino, an engagement in the Austro-Sardinian War. In a single day, about 40,000 soldiers on both sides died or were left wounded on the field. Henry Dunant was shocked by the terrible aftermath of the battle, the suffering of the wounded soldiers, and the near-total lack of medical attendance and basic care. He completely abandoned the original intent of his trip and for several days he devoted himself to helping with the treatment and care for the wounded. He succeeded in organizing an overwhelming level of relief assistance by motivating the local population to aid without discrimination. Back in his home in Geneva, he decided to write a book entitled A Memory of Solferino which he published with his own money in 1862. He sent copies of the book to leading political and military figures throughout Europe. In addition to penning a vivid description of his experiences in Solferino in 1859, he explicitly advocated the formation of national voluntary relief organizations to help nurse wounded soldiers in the case of war. In addition, he called for the development of international treaties to guarantee the neutrality and protection of those wounded on the battlefield as well as medics and field hospitals.
Original document of the first Geneva Convention, 1864.
On February 9, 1863 in Geneva, Henry Dunant founded the "Committee of the Five" (together with four other leading figures from well-known Geneva families) as an investigatory commission of the Geneva Society for Public Welfare. Their aim was to examine the feasibility of Dunant's ideas and to organize an international conference about their possible implementation. The members of this committee, aside from Dunant himself, were Gustave Moynier, lawyer and chairman of the Geneva Society for Public Welfare; physician Louis Appia, who had significant experience working as a field surgeon; Appia's friend and colleague Théodore Maunoir, from the Geneva Hygiene and Health Commission; and Guillaume-Henri Dufour, a Swiss Army general of great renown. Eight days later, the five men decided to rename the committee to the "International Committee for Relief to the Wounded". In October (26–29) 1863, the international conference organized by the committee was held in Geneva to develop possible measures to improve medical services on the battle field. The conference was attended by 36 individuals: eighteen official delegates from national governments, six delegates from other non-governmental organizations, seven non-official foreign delegates, and the five members of the International Committee. The states and kingdoms represented by official delegates were Baden, Bavaria, France, Britain, Hanover, Hesse, Italy, the Netherlands, Austria, Prussia, Russia, Saxony, Sweden, and Spain. Among the proposals written in the final resolutions of the conference, adopted on October 29, 1863, were:

~~Dunia Pustaka.com~~

Jika Anda menginginkan sesuatu yang belum pernah anda miliki, Anda harus bersedia melakukan sesuatu yang belum pernah Anda lakukan.
If you want something you’ve never had, you must be willing to do something you’ve never done.~ Thomas Jefferson